Senin, 28 November 2011

Let's Pop Up Your Days with Balloooonss...

LET'S POP UP YOUR DAYS WITH..BALLOOOOONNSS….
by: Michael Gunadi Widjaya


Dunia anak-anak senantiasa menarik untuk digubah dalam bahasa musik. Debussy membuat komposisi tentang dunia anak. Frederico Mompou dengan gaya meditatifnya pun terpesona oleh dunia anak. Masih banyak lagi komposer terkemuka yang memperbincangkan dunia anak. Kepolosan, keluguan, keterbukaan, kejujuran, dan keceriaan dunia anak, sepertinya tak kan pernah habis untuk diperbincangkan dalam verbalitas musikal. Tak terkecuali bagi Ruth Ellinger.

Tak banyak data tentang Ruth Ellinger. Meski demikian kita bisa mengais makna yang dalam melalui karyanya, "BALLOON POP POLKA". Sebuah karya yang diperuntukkan 2 piano dan 4 pemain. Piece ini bukan sekedar berkisah tentang dunia anak. Bukan sekedar menyodorkan paparan keceriaan. Piece ini sarat dengan keunikan.

Seorang Gustav Mahler pernah berujar demikian: 
"Je weiter der Musik entwickelt, desto komplexer das Gerät durch den Komponisten verwendet wird, um seine Gedanken auszudrücken"

Terjemahan bebasnya kira-kira demikian: 
"Semakin laju perkembangan sebuah jenis musik, semakin banyak pula aparatus yang dipakai/dilibatkan untuk mendukungnya."
 
Adagium ini dipakai dengan sangat baik oleh Ruth Ellinger. Balloon Pop Polka adalah sebuah MUSIK PIANO PLUS BALON!!! Balon sebagai sebuah aparatus yang menyatu penuh dengan idiom dan tata gramatik pianistiknya. Secara struktural, Balloon Pop Polka terdiri dari dua sekuen. Sekuen polka nya itu sendiri. Dan sekuen balon.

The Golden Fingers Piano Ensemble dengan director Jelia Megawati Heru, berhasil mentransformasikan keunikan karya Ruth Ellinger. Dalam konsernya di Istituto Italiano Di Cultura 19 November 2011. Keberhasilan transformasi dalam batasan, mempersembahkan sebuah piece utuh dengan balon, yang menyatu. Bukan sensasi murahan dan bukan memperlakukan balon sebagai kitsch.


 

Para performer masih berusia anak-anak. Mereka adalah: Agaputra Ihsan Oepangat, Madeline Audrey Wiguna, Lara Yavuzdogan, dan Angel Yoeshwono. Jelia sebagai seorang music educator jelas sangat berhasil membuat keempat siswa yang masih anak-anak untuk mencecap sangat banyak makna melalui piece ini.

       


      

Para siswa semenjak dini diperkenalkan terhadap konsep musik modern. Menggunakan aparatus diluar instrumen musik yang lazim, dalam konteks ini adalah balon. Juga pengenalan tuts hitam. Pieces ini dimainkan dalam F mayor, yang berarti ada teknik finger dexterity yang signifikan bagi pemain berusia anak. Juga world rhythm, dalam konteks ini adalah Polka. Dalam metrum 2/4 yang lincah. Ketepatan aksentuasi ritmik dalam aksen berupa letusan balon. Ada pula karakter harmoni „bertegangan“ yang muncul saat seorang pemain meniup dan melepaskan balonnya. Seorang Jelia malam itu dapat dikatakan berhasil menjadikan anak-anak sebagai sosok yang sublim dalam fantasi dan nuansa dunia anak-anak yang sejati.


 



Balloon Pop Polka, dalam konser malam itu dijadikan nomor pembuka. Bagi audiens, hal ini dapat ditangkap sebagai sebuah siratan makna. Bahwa pada awalnya, kesejatian, kepolosan, dan kejujuran lah hal utama dalam seni perbincangan kehidupan itu sendiri. Dan Jelia Megawati Heru bersama siswanya berhasil menyampaikan makna tersebut.

Kamis, 24 November 2011

RASA TANGO DALAM DUA PIANO

RASA TANGO DALAM DUA PIANO
 by: Michael Gunadi Widjaya


Konser The Golden Fingers Piano Ensemble di Istituto Italiano Di Cultura, Menteng 19 November 2011, menyisakan beberapa rasa untuk dicecap. Dicecap manis nuansanya. Dicecap warna semburat pesan moralnya, dan dicecap betapa the art of piano ensemble telah sampai pada kulminasi forma bathiniahnya. Jelia Megawati Heru sebagai director menunjukkan kepiawaiannya mengolah rasa sekaligus menaburkannya. Salah satunya adalah diperdengarkannya repertoire "LIBERTANGO" dari ASTOR PIAZOLLA untuk dua piano. Menarik untuk mencoba menguak pertalian dan nuansa antara Tango, Piazolla dan The Golden Fingers Piano Ensemble.

Gary Burton, vibraphonist Jazz terkemuka, mengemukakan bahwa Tango dari Astor Piazolla telah menjadi poros utama dalam Jazz. Jadi, bicara soal Libertango, yang adalah Tango versi Piazolla, kita sebetulnya masuk dalam ranah musik Jazz. Bukan Jazz seperti musik Duke Ellington dan Miles Davis. Melainkan Jazz dalam artian inner musical soulDeep soul from essential jazz musical approach. Bukan improvisasi, melainkan esensi muatan rasa dan nuansa. Keunikan lainnya adalah, Libertango, meski Jazz, seringkali dibawakan secara literer. Dimana literer merupakan sebuah budaya dalam musik klasik. Kesimpulannya, Libertango adalah musik dalam dua poros: Jazz yang sekaligus musik Klasik.

Sosok Astor Piazolla sendiri adalah seorang virtuoso bandoneon dan composer yang banyak me-revitalisasi musik tradisional. Khususnya musik Argentina. Dengan demikian, memainkan karya Piazolla sekaligus mengikuti napak tilasnya dalam upaya pemberian “baju baru” bagi musik tradisi.Yang tidak lain adalah sebuah langkah budaya, cultural movement untuk turut menjaga eksistensi sebuah budaya tradisi. Dari dua paparan tadi, nampak bahwa Libertango sarat dengan muatan budaya. Jazz yang sekaligus musik Klasik, dan bagaimana sebuah musik tradisi dikomposisikan dan di litererkan. Sangat tidak gampang memainkan Libertango sampai pada esensinya.


Yang tersaji dalam Konser The Golden Fingers adalah Liebertango untuk dua piano. Jelas forma nya adalah sebuah re-arrange. Pengaransiran kembali. Meski demikian esensi musikalnya tetaplah memadahi. Dalam arti, tak ada harmoni struktural yang tereduksi. Tetap sahih sebagai sebuah Libertango.

Dimainkan oleh Dioputra Oepangat dan Jelia Megawati Heru. Apa yang menarik dari sajian ini? Suasana dialogis. Suasana berbagi dengan kefasihan artikulasi dan verbalitas musikal yang seimbang. Jelia berhasil menghadirkan suasana Tango. Rasa Tango yang bisa dicecap audiens malam itu. Sebagaimana Daniel Barenboim melakukan hal yang sama dengan para pemusik di kampungnya. Juga dengan Tango.


Seorang Jelia Megawati Heru, berhasil mengawal Dioputra, muridnya, untuk melafalkan Tango. Hentakan beat sangat terjaga dan benar-benar goyang Tango. Progresi Akor yang khas Piazolla juga tampil dengan kegenitan yang menawan. Aksentuasi, idiomatika, tata gramatik musik, semuanya dapat hadir sesuai kelayakan porsinya. Dan, ini yang penting, Dioputra adalah pemain yang masih tergolong anak-anak.



Keberhasilan ini tentu tak terlepas dari upaya Jelia untuk mentransformasikan didaktik metodiknya. Saya sempat menyaksikan bagaimana sebuah konsep disiplin Jerman, diterapkan pada Dioputra untuk menyempurnakan teknik glissando sebagai akhir klimaks. Apresiasi juga layak diberikan pada Dioputra. Nampaknya Dioputra sangat menyukai Libertango ini. Minat itulah yang membawanya dapat menghadirkan frase rasa Tango dengan pas. Tentu saja, besutan bimbingan Jelia, sang mentor, sangat menentukan.

Menyaksikan Libertango malam itu adalah mencecap rasa Tango dalam dua piano. Rasa yang mestinya senantiasa berujar pada kita. Bahwa The Art of Piano bukanlah semata masalah dexterity dan interpretasi. Lebih dari itu. The Art of Piano juga adalah sebuah ruang. Ruang untuk berdialog dan berbagi dalam rentang ranah budaya yang tak terbatas.

Minggu, 20 November 2011

THE SWEETEST MEMORIES


THE SWEETEST MEMORIES 
PIANO ENSEMBLES "GOLDEN FINGERS"
by: Patrisia Trisnawati 


KENANGAN YANG TERINDAH
  
"Namun takkan mudah bagiku
Meninggalkan jejak hidupku
Yang telah terukir abadi
Sebagai kenangan yang terindah"

Konser Golden Fingers - Sabtu, 19 November 2011 @ Istituto Italiano

Saat ini sudah hari Minggu 20 November 2011, dan saat ini semua sudah kembali melakukan aktivitas masing-masing sebagai guru, performer, pelayanan di gereja atau pekerja musik lainnya. Namun, apa yang sudah menjadi kenangan tak akan terlupakan dalam sejarah kehidupan.

Aku masih ingat bagaimana Miss Jelia menekankan bahwa “this is the moment”, dan kita harus “enjoy the moment”. Aku sungguh beruntung karena bisa menikmati malam konserku dan kini malam itu menjadi salah satu kenangan terindah dalam hidupku.

Hari ini Amanda memulai BB Group dengan kata-kata “miss you all already”. Itu persis dengan apa yang kurasakan. Walaupun kami hari ini tidak bertemu, tetapi persatuan sosial yang kami alami selama proses latihan sampai konser tadi malam akan berlanjut dalam kehidupan kami selanjutnya dan tidak berhenti sampai disini. Dalam keseharian kami tidak banyak bertemu satu sama lain, tetapi akan selalu ada hubungan spesial antara kami masing-masing. Miss Jelia berhasil menciptakan hal ini dan kami patut berterima kasih pada beliau. Kami bukan hanya memiliki partner duet, tetapi kami juga memiliki sahabat baru dalam hidup kami. 

SIANG ITU...
Kami berkumpul sekitar  jam 11 pagi. Kami berlatih, berlatih, dan berlatih. Padahal semalam sebelumnya kami sudah melakukan gladiresik. Tetapi saat itu yang tampak pada kami adalah rasa takut… rasa takut bahwa ini segera berakhir… bahwa kami sudah merasa nyaman satu sama lain dan tidak ingin ini semua berakhir sampai disini. 

Siapapun diluar group ini tidak akan bisa merasakan hal ini, karena ini terjadi secara ajaib. Proses berlatih yang cukup intense, sekitar 3 bulan, dan semua proses kehidupan yang mengikutinya, telah membuktikan bahwa kami bukan hanya seorang pemain piano, tetapi kami adalah mahluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam hidup kami. 

Ketika duduk bersama Amanda untuk berlatih "Carmen", kami bersama berbagi piano. Berbagi dalam arti yang sebenarnya, bahwa kami tidak mau menguasai piano ini untuk diri sendiri. Kami harus yakin partner duet kami nyaman dengan posisi duduknya. Kami harus bisa memberikan dukungan pada partner duet kami, sehingga partner duet kami bisa bermain dengan baik, dan bukan hanya diri sendiri yang menonjol. Ya, kami telah mencapai tahap ini. Disini tentu saja Miss Jelia berhasil menanamkan inti dari bermain piano ensembles.

MALAM ITU...
Kami selesai berdandan. Semua menjelma menjadi bidadari cantik. Entah siapa semua itu namanya… semua mengeluarkan aura paling cantik yang pernah kulihat. Dukungan demi dukungan terlontar dari mulut kami satu sama lain. Tiada pencelaan, tiada kebencian. Yang ada hanya kasih. Saat ada pemain yang nervous, pemain lain langsung mendukung dalam bentuk pelukan, atau comforting words. Masih sangat banyak bentuk perhatian dan kasih sayang diantara kami, sehingga kami lebih bisa nyaman dengan suasana kekeluargaan ini. 

Livi membawa beberapa pilihan untuk busana konsernya. Beberapa pemain lain memberi masukan mana yang paling baik. Kenapa ia bisa percaya pada masukan mereka? Karena, sekali lagi, kami telah menjadi dekat satu sama lain. Bukan lagi seorang pianis arogan yang bangga dengan pilihannya sendiri. Bukan lagi seorang pianis yang bangga dengan permainannya sendiri. Bukan lagi seorang pianis yang menjelek-jelekkan teman-temannya. Tetapi melebur menjadi satu tim dengan kerjasama yang baik. Menjadi kesatuan dalam "The Golden Fingers".

Kami tak sungkan memberi dukungan satu sama lain, 
“Kamu bisa, tadi bagus kok…jangan panik, enjoy aja..”

Lagu "In The Groove" yang kumainkan bersama Talitha dan Clarissa, menjadi  pembuka kenangan manis kami bersama group Golden Fingers. Aku berhasil memainkan melodi dengan baik, karena dukungan dari pencetus ketukan di awal lagu yaitu Clarissa dan Talitha sebagai bass. 

Lagu "Jambalaya", yang memang mengisahkan kenangan manis, membuatku yang duduk sebagai page turner, merasa terharu bahwa malam itu akan segera berakhir. Bahwa ini semua akan segera menjadi kenangan belaka dan kami akan kembali tenggelam pada aktivitas masing-masing. Tetapi terbukti, kami tidak putus hubungan.
 
Setiap lagu selesai dimainkan, kami yang stand by dibelakang panggung akan mendukung yang baru saja bermain, entah itu dengan pujian, pelukan, loncat bersama karena kegirangan, apapun caranya.. Hal ini tak terbantahkan lagi, “piano ensembles” dalam kehidupan telah berhasil kami capai.

Dalam lagu "Brazileira", aku dan Clarissa saling mendukung dengan manis. Dibelakang panggung kami berpelukan erat sebelum manggung, dan usai dari itu kami meloncat bersama. Clarissa will never forget this moment. 

Di akhir permainan "Carmen", Amanda mengatakan bahwa aku telah berhasil menonjol pada bagian solo. Aku mengatakan tentu saja itu berkat Amanda yang bisa menjadi supporter yang baik. Aku bersyukur bisa berpartner dengan Amanda dalam lagu tersebut. Tak lepas tentunya peran Clarissa dan Livi dalam bernafas dan “memberikan” nafas. 

"Thanks God" - Talitha

"Praise the Lord! Thank you, Jesus, for what we have done last night!" - Patrisia

Semua dapat menyelesaikan bagiannya masing-masing dengan baik…dan diakhir malam yang indah itu.….apakah yang Miss Jelia katakan kepadaku (yang tentunya kami nanti-nantikan)?
 
"KALIAN MAINNYA KEREEEEN!!!!"

(Hohoho…. gurunya udah bilang keren, itu artinya kemenangan!)

"Each moment of your life is a picture 
which you had never seen before and which you will never see again.
Time is like a river, each moment passes once and never again"
- Jelia -

Miss Jelia, thank you for giving us a rare opportunity like this. Thank you for making us your masterpiece. All the sweet memories are kept inside each of us. I hope you enjoyed this moment, as a celebration of your birthday. Happy birthday one more time. 

Love, from us all...

Patrisia narsis, hungry Amanda, Talitha terengtengteng, Clarissa bingung, Christine eksis, Kenia kepala goyang-goyang, dan Livia bola.

Die Regenbogen-Bruecke fuer goldene Fingern

DIE REGENBOGEN-BRUECKE FUER GOLDENE FINGERN

oleh: Michael Gunadi Widjaya


SANG PELANGI TELAH MENJADI TITIAN BAGI JEMARI EMAS

Kalimat yang dipergunakan sebagai judul, dapat diartikan, bahwa Sang Pelangi telah menjadi titian bagi jemari emas. Sosok Jelia Megawati Heru adalah Sang Pelangi, "die Regenbogen". Sosok yang memberi warna nyata pada blantika pendidikan musik di tanah air, khususnya musik piano. Warna yang dalam esensi kreatifnya telah menghantar banyak pribadi, anak-anak, dan dewasa - untuk menjadi sosok yang layak dijuluki sebagai "The Golden Fingers". Sang Pelangi telah berhasil menjadi jembatan "die Bruecke". Kesuksesan pelaksanaan konser The Golden Fingers Piano Ensembles, dapatlah dikatakan purna sudah sebuah episode edukasi musik piano di tanah air. Dan Jelia, "die Regenbogen" adalah jembatannya.



Menjadi menarik manakala menelisik kiprah seorang Jelia Megawati Heru dalam The Golden Fingers. Kiprah Jelia bukan saja sebatas mewarnai blantika edukasi musik, namun memberi pelajaran bagi kita semua, tentang bagaimana seharusnya sebuah fungsi dilaksanakan dalam sebuah perhelatan besar semacam konser piano ensemble. Dalam konser The Golden Fingers, Jelia adalah penggagas sekaligus director.



Gagasan Jelia terasa menyejukkan manakala kita menempatkannya dalam hiruk pikuk pendidikan musik di tanah air yang masih saja carut marut. Oleh ketidakjelasan status lembaga pendidikan musik antara fungsi edukasi dan profit oriented. Ide piano ensemble memberi siraman baru, bahwa musik piano bisa disajikan dengan FUN. Dengan kebersamaan. Dengan saling ungkap, dan saling bagi.



Fungsi pendireksian juga dilakukan Jelia dengan profesional. Segala detil tak luput dari penanganannya - mulai recruitment performance, penyediaan & pemilihan repertoire, Latihan dan bimbingan; Detil pelaksanaan konser, meliputi: pemilihan venue, sponsor, susunan acara, printed material, dokumentasi, bahkan sampai pada make up. Setidaknya ini menorehkan sebuah pelajaran bagi kita, bahwa ranah perhelatan musik adalah sebuah bidang profesi yang mestinya ditangani juga dengan profesionalitas yang pas. Dan itu menuntut seduah pengabdian dan upaya eksplorasi yang tak mengenal lelah.


WWW.PIANO-ENSEMBLES.BLOGSPOT.COM


Salah satu hal yang unik dari pendireksian Jelia adalah dimanfaatkannya teknologi internet. Jelia membuat blog khusus bagi proyek piano ensemblenya. Berisi: testimoni para pelakunya, rekaman video rehearsal, foto-foto, dan juga artikel. Blog tersebut mengajarkan pada kita bahwa musik piano bisa mendapatkan bentuk esential nya dalam ensemble. Juga kendala kendala musikalitas seperti ketepatan interpretasi, keterpaduan teknis, keselarasan ungkapan frase. Semuanya bisa dialihkan menjadi keseharian hidup. Hingga kendala-kendala tadi dapat diselesaikan dengan ngobrol dan makan bakmie. Sebuah semburat pemaknaan keseharian yang di sublimkan dalam ranah musikal.



Konser The Golden Fingers 19 November 2011 di Instituto Italiano Menteng Jakarta,adalah kulminasi.Puncak dari rangkaian panjang cerita tentang hal hal sehari hari yang dibagikan melalui musik.



Publik yang hadir turut menerima asupan. Akan keceriaan anak-anak dengan balon yang adalah ikon khas dunia anak. Tanpa bentuk ensemble, tak mungkin pesan ini tersampaikan dengan wahana musik. Juga bagaimana seorang anak penderita autisme dapat dengan sangat baik mengalunkan kalimat musikal. Jika misalnya, tak ada format ensemble, pastilah tak mungkin bagi seorang penderita autis untuk mengalunkan bunyi. Autisme nya akan mencengkeramnya untuk tak lagi peduli pada hal hal seputar bunyi. Piano ensemble memungkinkan seorang anak penderita autisme merasa diayomi. Merasa ada sebuah nuansa yang layak untuk dia pedulikan selain ego nya.



Piano ensemble juga memnungkinkan seorang anak berusia dini mengenal irama terkenal di dunia.Tanpa format piano ensemble sangat tak masuk akal bagi anak kecil memainkan rumba dan swing hingga sampai pada esensi rasa musikalnya. Jelia dalam kapasitasnya sebagai music educator memahami betul hal-hal semacam ini. Dengan cermat dia memilihkan repertoire yang kental nuansa rumba dan swing tanpa membuat si anak menjadi stress dan tergopoh-gopoh.



Karya masterpiece yang sulit, juga menjadi mungkin dinikmati oleh anak-anak melalui tata bunyi piano ensemble. Dalam konser malam itu, Jelia sempat bertango dengan siswanya, melalui "Liebertango" karya Astor Piazolla. Mengingatkan saya saat seorang Daniel Barenboim, masih sempat berkumpul dengan teman-temannya pemusik kampung dalam kesederhanaan yang memikat & mengalunkan tango.Tanpa format piano ensemble seseorang harus menunggu bertahun tahun untuk dapat berkenalan dengan "Tango" dari Astor Piazolla.



Konser The Golden Fingers juga menampilkan sesi dari para guru piano. Mereka melakukan komunikasi dan saling berbagi. Hal yang dibagikan tentu sudah bersifat hal-hal dasar dalam kehidupan. Mereka dapat berbagi rasa, seperti: mengenal apa itu toleransi, merasakan keindahan kebersamaan. Dan bahwa kesamaan profesi bukanlah sebuah persaingan yang harus disikapi dengan kelicikan. Secara teknis mereka, para guru ini masih sangat terbatas. Dan Jelia bekerja keras untuk itu. Yang menarik adalah bahwa telah terjadi sebuah LIVING SCENE.Sebuah tabir nyata kehidupan. Para guru bagaikan remaja-remaja yang kadang bingung dengan problemanya, sementara Jelia bagai ibu yang dengan pengetahuan dan sikap yang pas mencoba memberi arahan. Sangat menarik!



Untuk langkah ke depan, banyak yang harus disentuh Jelia dan piano ensemblenya. Mestinya harus lebih banyak lagi anak yang diberi kesempatan berbagi rasa melalui permainan musik bersama. Juga semestinya lebih banyak publik yang bisa menikmati rasa saling berbagi melalui musik. Hal demikian menjadikan Jelia sampai pada satu titik. Apakah sudah waktunya untuk melembagakan piano ensemble. Atau..ah..biarlah sang pelangi menoreh warna kreatifnya.

 "Jelia, Sie haben sehr gute Arbeit geleistet! Herzlichen Glueckwunsch!"

DAN BILAH BILAH NADA PUN BERTABUR EMAS

DAN BILAH BILAH NADA PUN BERTABUR EMAS
(Konser THE GOLDEN FINGERS Piano Ensemble)
 
oleh: Michael Gunadi Widjaya



 
Yang terbayang saat kita menghadiri sebuah konser piano, seringkali adalah rangkaian peristiwa semacam ini : Datang – Pakaian Rapi – Duduk – Pura-pura pasang tampang bagai kritikus musik – Tepuk tangan – Pulang.
Pada Sabtu 19 November 2011 di Istituto Italiano Di Cultura Jl.HOS Tjokroaminoto - Menteng Jakarta, berlangsung sebuah konser piano yang terbebas dari mainstream dan “kebiasaan” semacam itu. The Golden Fingers Piano Ensemble dengan director Jelia Megawati Heru. Konser dibagi dalam 2 sesi. Penampil yang masih siswa berusia anak dan teacher. Semuanya adalah bimbingan Jelia Megawati Heru. Ke-16 penampil (8 students dan 8 teachers) menampilkan 23 repertoire. Dirasa perlu untuk menyebut nama para penampil dalam kaitannya dengan peran mereka dalam konser yang menyuguhkan kesegaran ide dan konsep semacam ini.

Students: Madeline Wiguna, Angel Yoeshwono, Agaputra Oepangat, Lara Yavuzdogan, Michael Mamo, Mustafa Turner, Dira Turner, dan Dioputra Oepangat.
Teachers: Patrisia Trisnawati, Clarissa Rachel, Talitha Theodora, Christine Paulina, Angelica Liviana, Kenia Waty, Amanda Purnama Suci, dan Aprilia.
Para siswa dan guru tersebut mengakrabi bilah-bilah nada dalam setting: 1 Piano for 4 Hands, 1 Piano for 6 Hands, 2 Pianos, 2 Pianos for 8 Hands.

Konser berlangsung dalam venue yang malam itu dirancang bukan sebagai arena resital melainkan ajang komunikasi antara penampil dan publiknya. Jelia mengawali konser dengan keterangan tentang latar belakang diadakannya konser, manfaat format piano ensemble, standarisasi pendidikan musik, hingga apa yang seharusnya dilakukan para guru piano dalam pendidikan musik piano. Semuanya dipaparkan dengan dialog bersama pembawa acara.

Repertoire yang ditampilkan semuanya terarah pada edukasi. Edukasi bagi pribadi para penampilnya.J uga edukasi terhadap para penikmat yang hadir. The Golden Fingers Piano Ensemble bukanlah sebuah resital piano klasik. Bukan pula sebuah resital piano Pop atau Jazz. Golden Fingers adalah sebuah bentuk komunikasi rasa dan proses saling berbagi. Para penampilnya bukanlah kaum pemusik professional.Mereka adalah anak-anak yang dengan permainan ensemble piano,membagikan rasa dan penghayatan estetisnya. Berbagi dan berkomunikasi pada pasangan ensemblenya. Juga kepada yang hadir. Begitupun para guru yang tampil. Mereka, dalam taraf pencapaian tekniknya, seolah memperagakan bentuk komunikasi personal dalam hal keseharian melalui permainan ensemble dan medium bunyi.
1st SESSION - STUDENT'S PERFORMANCE  (Beginner & Intermediate Level)
Sesi student's performance dibuka dengan "Balloon Pop Polka" karya Ruth Ellinger. Dalam format ensemble piano, anak-anak mengalunkan frase polka sambil berinteraksi dengan meniup dan meletuskan balon. Mereka menyampaikan pesan keceriaan dunia anak-anak dengan balon, yang adalah ikon dunia anak. uga ada variasi dari "Twinkle Twinkle Little Star" dan ROCK N ROLL!! Pieces ini dibawakan oleh seorang anak penderita autisme! Tanpa forma ensemble sulit bagi anak autis mengalun frase piano sedemikian.Dalam sesi ini Jelia juga memperkenalkan world rhythm seperti Rumba dan Swing. Piano ensemble memungkinkan seorang anak pada usia dini untuk mengenal dan berbagi pesona estetis pada hal-hal esensial musikal seperti bentuk pola irama dan perubahan aksen.
2nd SESSION - TEACHER'S PROJECT (Late Intermediate & Advanced Level)
Sesi Teachers mengetengahkan bentuk komunikasi yang lebih membumi. Dalam artian, para guru ini mencoba menyampaikan seni komunikasi verbal namun dalam medium bunyi. Repertoire sesi ini juga penuh warna. Dari Tschaikovsky, sampai olahan Kevin Olson dengan harmoni modern yang disonan. Sesi ini dilengkapi wawancara. Dan nampak bagaimana seorang Jelia Megawati Heru sebagai music educator secara pas memberikan trik bagi alunan passage agar dicapai kesehatian para pemainnya. Dari hembusan napas, anggukan kepala sampai gesture. Harus dicermati bahwa dalam sesi ini Jelia mengawal ketat permainan para guru asuhannya dengan ikut bermain.Teknik dan interpretasi para guru tersebut masih berkutat dalam ranah tekstual semata. Nampak bagaimana mereka agak kerepotan dalam  "CARMEN Fantasy" George Bizet yang di re-arranged oleh Kevin Olson. Para guru tersebut memang bukanlah pianis professional. Apresiasi tetap harus diberikan karena bagaimanapun mereka telah jujur dan berani untuk membagi pengalaman musikal dengan sesama dan hadirin.

The Golden Fingers Piano Ensemble telah memberikan kontribusi bagi perkembangan musik di tanah air, khususnya musik piano. Bahwa musik piano bukanlah sebuah seni yang pencapaiannya ngungun nun jauh disana. Musik piano adalah sarana berkomunikasi, berbagi dan saling sublime dalam ranah estetis. Dan yang penting, sebagian publik Jakarta telah berkesempatan menjadi bagian, saat bilah piano malam itu bertabur emas.

Kamis, 17 November 2011

MERAJUT ANGAN MENGGAPAI ASA

MERAJUT ANGAN MENGGAPAI ASA 
Menjelang Konser Golden Fingers Piano Ensemble
 
By Michael Gunadi Widjaja
Musik piano. Berkembang sejalan dengan pembelajaran dan pendidikan piano itu sendiri. Di Indonesia,sudah banyak pianis kelas dunia. Banyak dan bahkan teramat banyak lembaga yang konon katanya adalah sebuah wadah pendidikan piano.Bagi sebagian orang, banyaknya pianis kita yang berkelas dunia bolehlah dijadikan tolok ukur keberhasilan pendidikan piano di tanah air. Demikian pula menjamurnya lembaga pendidikan piano dapatlah ditengarai sebagai tingginya minat akan musik piano. Di satu sisi, hal tersebut adalah sebuah fenomena gemerlap. Di sisi yang lain… banyak mendung dan kesuraman.

Jika kita mau sedikit saja bersusah susah untuk melakukan penelisikan, segera akan terpampang paparan fakta sebagai berikut: masih sangat banyak anak yang belajar musik piano dengan tertekan, murung, tak bergembira. Anak-anak tersebut bertahan dengan stress dan hampir depresi hanya karena ambisi orang tuanya, menganggap musik piano setara dengan gengsi yang prestisius. Banyak dan tak terhitung, anak yang telah 9 tahun belajar piano hanya dapat memainkan satu lagu "Fuer Elise" saja.Itupun dengan terbata-bata dan nyaris membuat pendengarnya stroke jantungan.

Dalam tatanan sedemikian, timbul pertanyaan. Dimana peran para guru piano? Para guru piano secara an sich tetap intens melakukan pekerjaannya. Hanya saja, kebanyakan para guru piano ini terbuai oleh angan semu. Mereka asyik bertahan dengan paradigma dan mind set yang konservatif dan kolot. Mereka tetap kukuh bahwa academia alla Rusia dengan Hanon pada berbagai kunci nada akan menghasilkan Barenboim-Barenboim muda.Mereka tetap bertahan dengan pongahnya bahwa tiada pieces lain yang berteknik selain Duvernoy, Burgmuller, Czerny, dan sebangsanya. Para guru piano ini dengan gaya komandan pasukan elite mengkomando muridnya..yang dengan stress dan terengah-engah serta tertatih mendalami First Lesson in Bach.

Paradigma kolot mungkin untuk beberapa siswa piano bisa membuahkan hasil. Tapi tidak untuk sebagian yang lain. Dan pertanyaan yang paling mendasar adalah:
"APAKAH PARADIGMA MACAM DEMIKIAN DAPAT MENGHASILKAN SEBUAH TATANAN IKLIM PENDIDIKAN MUSIK PIANO YANG SEJUK?"
Musik adalah pengejawantahan karsa dan karya yang paling dalam. Musik seyogyanya membuat setiap orang bisa mengungkap rasa dan berbagi rasa melalui medium bunyi. Apakah mungkin dengan guru piano dan system pendidikan yang kolot musik dapat menyuarakan kesejatiannya?

Konser THE GOLDEN FINGERS PIANO ENSEMBLES memberi sebuah wacana edukasi yang sangat berbeda. Dengan director Miss Jelia Megawati Heru, Golden Fingers dalam pagelaran 19 November 2011 di Instituto Italiano Menteng jam 19.00 mendatang, menawarkan sebuah tatanan pendidikan musik piano yang “baru”. Dalam arti, sangat personal bagi setiap performernya.

Forma ensembles yang dipakai The Golden Fingers, menorehkan sebuah alternative pendidikan piano. Berbagi. Para siswa diajak sublim ke dalam kesehariannya. Dalam sendi sendi kehidupan itu sendiri. Untuk berbagi pengalaman estetisnya dengan sesama teman. Tidak lagi dibelenggu dengan ketatnya finger dexterity, melainkan semangat berbagi dan saling mencurahkan keseharian hidup. Hal demikian nampak nyata dalam program konser The Golden Finger. Ada karya Ruth Ellinger "Balloon Pop Polka", yang merupakan persenyawaan dunia anak yang riang. Juga Juga rangkaian folk song yang diaransir dengan nuansa musikal masa kini. Suatu upaya agar anak tetap terbalut dengan apa yang dinamai sebagai seni tradisi.



Sesi dua The Golden Fingers dalam program note-nya, akan menampilkan ensembles para guru. Sebuah upaya edukasi dari Miss jelia yang patut diapresiasi. Para guru diajak untuk saling berdialog dengan sesamanya. Bukan tentang hal muluk seni keluwesan tangan alla Horowitz, melainkan tentang seni komunikasi melalui musik. Dan repertoire untuk sesi ini diantaranya adalah karya Arthur Benjamin. Komposer yang paham betul makna edukasi, karena pernah menjadi staf penguji ABRSM.
Pada esensinya,The Golden Fingers Piano Ensembles adalah sebuah nuansa baru. Angan yang ingin menggapai asa. Asa berupa kembali sejuknya iklim pendidikan piano di tanah air, yakni dengan cara menghidupkan musik dan memusikkan kehidupan itu sendiri. Dan seorang seperti Jelia Megawati Heru sangat memahami hakekat tersebut.