Sabtu, 24 Desember 2011

"OUT of BOX in LIFE" (part 2)

"OUT of BOX in LIFE" (2nd Part)
testimony by Christine Paulina
edited by Jelia Megawati Heru
  

Jakarta, 16 Desember 2011
Aku teringat dengan testimoni yang aku buat untuk konsernya Golden Fingers kemarin... Miss Jelia memberikan judul "Out of the Box" *. 

*Artikel "Out of the Box" dapat dibaca di: 
http://piano-ensembles.blogspot.com/2011/11/christines-practice-journal.html

Ya! Dan itu betul sekali dan di tahun ini aku betul-betul mengalami hal itu - tidak hanya di dalam musik saja. Kalau boleh share, mulai sejak dari pertengahan tahun ini aku betul-betul mengalami yang namanya OUT OF MY COMFORT ZONE!

 


MY TURNING POINT

Semuanya berawal dari ketika aku memutuskan untuk pindah kerja dari profesi guru piano di salah satu sekolah musik ke universitas terkemuka di Jakarta - yang betul-betul merupakan hal yang baru untukku. Lalu tiba-tiba aku mendapatkan tawaran untuk mengikuti project dari Miss Jelia. Buat aku, awalnya seneng-seneng saja, tapi ternyata setelah masuk dan ikut, tidak semudah yang kubayangkan. Sempet kaget kenapa Jelia nawarin aku, padahal mungkin ada juga alternatif teman-teman yang lain. Sekarang, ketika semuanya sudah lewat, aku tidak menyesali keputusan ini. Aku tahu, aku bisa belajar banyak seperti yang aku tulis di testimonial "Out of Box".



NEW JOB, NEW ENVIRONMENT & NEW OPPORTUNITIES

Mengajar di universitas sendiri buat aku, merupakan hal yang ada di luar dugaanku karena aku tidak pernah menyangka aku bisa diterima disana. Bayangkan aku mengajar didepan anak-anak yang badannya jaooh lebih besar dari aku! Selama ini aku hanya mengajar anak yang secara fisik lebih kecil dari aku dan aku bisa punya kuasa atas mereka - alias bisa dimarahin...heheheeee..^^ ). Tapi sekarang, aku harus mengajar mereka yang secara fisik badannya jaoooh lebih besar dan aku mengajar yang 1 kelas isinya 60 - 70 mahasiswa.  Luar binasa! Beberapa kelas yang aku ajar adalah anak teknik industri, yang mayoritas anak cowok-cowok... wah, berasa paling cantik sendiri karena tidak ada saingan! hahahaaaaa.... dan itu tidak cuma 1 kelas, ada 5 kelas di semester ini yang aku ajar dan jumlah mahasiswa 1 kelas rata-rata 50-70 anak!

Sampai hari ini, setelah tengah-tengah semester terlewati (sudah mid-test kemarin), aku coba mendekatkan diri ke mereka dan menganggap mereka sebagai teman (nggak berani galak-galak sama mereka karena badan mereka jauh lebih besar dari aku dan mereka bisa protes juga) hehehe.. nggak juga sih, tapi lebih karena ingin membangun hubungan baik saja dengan mereka. Hasilnya? Aku bisa dekat dengan beberapa dari mereka... nggak semua sih..Tapi ada beberapa yang dekat dengan aku. Trus, kalau di kelas bisa bercanda juga.  Sekarang aku lagi belajar bagaimana caranya bersikap tegas dengan mahasiswa yang agak-agak males gitu atau menegur mereka tanpa menyakiti mereka.

Pilihan berikut yang menjadi dilema buat aku adalah ketika aku harus memutuskan utk menjadi Faculty Member/FM alias dosen tetap. Di satu sisi, aku dengar ada usulan-usulan buat aku untuk tidak menjadi FM karena ada beberapa pertimbangan, tetapi ada juga yang menyarankan aku untuk mengambil kesempatan ini mumpung ditawarin... Dari orang tua menyarankan kalau bisa ambil saja - tidak ada ruginya dan bisa saja kesempatan ini tidak datang 2 kali... Kalau dari aku sendiri, sebetulnya agak berat karena masalah terikatnya itu dan mengerjakan kegiatan administratif di luar sebagai dosen - antara lain: mengajar, input nilai, koreksi, persiapan materi, buat riset, dan menulis jurnal. Tapi yah aku harus memutuskan apapun itu, aku cuma berharap keputusan yang aku ambil adalah keputusan yang tepat buat aku. Kalau ini adalah kesempatan yang dikasih buat aku, kenapa aku melewatkan kesempatan itu?  


DILEMMA, STRUGGLE & POINT of NO RETURN

Dengan bekerja dalam lingkungan yang baru, aku juga belajar lagi dan mau tidak mau HARUS BERADAPTASI dengan lingkungan baru (yang sebetulnya buat aku tidak mudah). Masuk di lingkungan baru, harus beradaptasi lagi, dan belajar hal-hal yang baru lagi.

Kalau aku boleh memilih... pengen deh balik ke zona nyaman ku... tapi di sisi yang lain, aku juga tahu kalau aku terus berdiam di zona nyamanku, aku tidak bisa berkembang karena berhenti di 1 titik...  aku tidak bisa melihat dunia luar karena aku sudah terlalu asik dengan duniaku sendiri...

Di atas semuanya itu, aku melihat tahun ini adalah tahun dimana aku diberi banyak kesempatan untuk keluar dari zona nyamanku dan maju buat perkembangan diriku sendiri... walaupun sekarang ini aku ya masih dalam proses belajar, jatuh bangun, bersakit-sakit, kesandung, nangis bombay sampe nangis darah tapi aku harus segera bangkit dan maju - kalau tidak begitu, aku bakal ketinggalan karena waktu akan berjalan terus. Tahun ini, aku benar-benar ditempa habis-habisan...

Mama aku pernah bilang begini: "ya, sekarang udah waktunya Christine keluar dari zona nyaman nya Christine selama ini...bersusah-susah dulu, nanti pasti suatu saat Christine akan terima rewardnya" Amien to that!  Yah, sekarang aku cuma ngebayangin kapan yah aku dapat rewardnya? Sampai kapan aku musti bersusah-susah dulu?  Kalau mau jujur ya, aku sudah cukup capek hati dengan semua proses yang aku lalui dan terjadi sampai hari ini... tapi aku cuma terus bertahan saja, semoga aku bisa dapat rewardnya segera... ^_*  Penasaran sama reward nya nih...

Sambil nulis cerita ini, sambil sedikit menitikkan air mata dan menghela nafas panjaaanng bangeeett mengingat segala proses yang harus aku jalani ke depannya... 




When the world says, “Give up,” Hope whispers, “Try it one more time.” 

We all have a comfort zone where everything feels safe and familiar. We tend to not want to venture beyond it, however if we allow ourselves to stay there we will not be challenged, experience personal growth, or learn new and exciting things. In other words, we would stagnate. 

To Everything there's a season, a time for every matter, or purpose... HE has made everything beautiful in it's time... 

Experience is life's best teacher, but....
"Never shall I forget the time I spent with you. Please continue to be my friend, as you will always find me yours" - Ludwig van Beethoven

Rabu, 14 Desember 2011

THE PERPETUAL COMMOTION: "Pelajaran dari sebuah KEGADUHAN"

THE PERPETUAL COMMOTION
"Pelajaran dari sebuah KEGADUHAN"
by: Michael Gunadi Widjaya


"Manchmal Musik kann auch von einem Geraeusch geboren werden"
(artinya: "Terkadang kegaduhan pun dapat melahirkan musik")

Di jaman sekarang ini, mengkomposisi musik menjadi hal yang gampang, karena semuanya serba mungkin. Namun, mengkomposisi musik juga dapat menjadi hal yang sangat sulit, juga karena semuanya adalah mungkin. Idiom tersebut merupakan adagium dalam kompositoris musik modern. Dan nampaknya, karya Kevin Olson yang berjudul "PERPETUAL COMMOTION", dapat ditelisik dengan menggunakan adagium tersebut. 

Tentang makna Perpetual Commotion itu sendiri, terdapat banyak konsep dan pemahaman. Dari mulai sebagai istilah tata gramatik sampai menjadi istilah dalam game-game dunia maya. Saya pribadi lebih suka memaknai Perpetual Commotion dari Kevin Olson sebagai, sebuah kegaduhan yang berkesinambungan. Gaduh yang terus menerus, namun tentu saja tak mengarah pada chaostic yang tak terkendali.

 

Orang mengenal Kevin Olson sebagai pianis, komposer dan juga pedagog musik dari Amerika Serikat. Sebagaimana komposer lainnya yang berkarya dalam abad ke-20, Kevin Olson banyak mendapat pengaruh dari konsep yang berkembang di abad ini. Salah satunya adalah konsep tentang ide garapan yang diambil dari fenomena situasional. Sejak abad ke-20 mulai ide garapan komposisi musik tak lagi berkutat pada musik tarian, cinta, rasa sanubari, ketuhanan belaka. Ide garapan musik modern dapat berupa situasi tidak menyenangkan, gaduh, bising, dunia antah berantah, fantasi-fantasi liar yang kadangkala dapat terasa absurd. Ide garapan komposisi Perpetual Commotion dari Kelvin Olson menjadi menarik manakala kita proyeksikan ke dalam kehidupan manusia modern. Kehidupan kita semua. Dalam kerangka inilah, upaya pemaknaan Perpetual Commotion memulai napak tilas pemaknaannya.

Upaya itulah yang diusung oleh The Golden Fingers Piano Ensemble dengan director Jelia Megawati Heru di Istituto Italiano Di Cultura - Jakarta, 19 November 2011. Untuk piece ini, The Golden Fingers menampilkan para performer yang terdiri dari APRIL, DIOPUTRA OEPANGAT, DIRAYATI FATIMA TURNER, dan Miss JELIA MEGAWATI HERU. 

Sebagai sebuah pieces musik piano, Perpetual Commotion dari Kelvin Olson tergolong berdurasi singkat. Secara keseluruhan landscape kompositorisnya menampilkan sebuah situasi gemuruh yang cukup gaduh. Namun tetap dalam bingkai estetis yang menawan. Sebuah situasional landscape komposisi yang cukup sulit untuk di interpretasi. Terutama bagi anak-anak dan remaja. Seorang Jelia Megawati Heru, sebagai director nampaknya sangat berhasil mengakomodir para muridnya untuk memahami sebuah konsepsi kompositoris musik modern, yang didasarkan pada ide garapan yang tak lazim.


Pieces diawali dengan eksplorasi pada wilayah bass dengan menampilkan pola ritmik yang shuffle. Dioputra  melakukannya dengan sangat baik. Frasenya tegas, kuat, jelas dan feel shuffle-nya sangat terasa. Dengan kata lain, Dioputra malam itu berhasil menampilkan sebuah rasa „kegaduhan yang estetis“. Sinkopasi yang dibawakan April juga sangat efektif menimpali kegaduhan estetis bass dari Dio. Tentu saja, Miss Jelia memberi kontribusi yang tidak kecil. Dengan aura dan musikalitasnya, Jelia membimbing para muridnya untuk berasyik masyuk dalam sebuah situasi yang gaduh, dengan tetap menjaga kerapihan dan teknik bermain yang layak. Bersama dengan Dirayati, mereka berempat sangat menyatu. Dengan asyiknya saling menimpali, memberi aksentuasi, saling berkejaran frase, dalam bingkai yang berkesinambungan bertemakan kegaduhan. Saat piece ini tuntas, masih terasa aura para performer yang memberi kita pemaknaan dan pelajaran. Makna dan pelajaran dari kegaduhan, yang seringkali merupakan momok menakutkan bagi sementara orang.

     


The Golden Fingers memang lebih dari sekedar kelompok ensembel biasa. Melalui Perpetual Commotion, situasi gaduh menjadi bebas bising, dan para performer-nya dapat mengais makna untuk tetap saling berbagi rasa. Saling bertoleransi dan saling mempercantik apa yang telah dilontarkan oleh rekannya. Sebuah bentuk komunikasi rasa yang perlu dikedepankan ditengah kehidupan yang makin pupus dari rasa kebersamaan.

Jelia, sebagai director, dengan background music education-nya berhasil memberi pelajaran berharga. Bahwa kita senantiasa dapat belajar dari apapun, termasuk kegaduhan yang berkesinambungan, sejauh kita masih punya passion untuk musik dalam jiwa kita.


"CHAMPAGNE TOCCATA" - Selebrasi ala William Gillock

"CHAMPAGNE TOCCATA"
Selebrasi Ala William Gillock
 by: Michael Gunadi Widjaya 


Sudah menjadi opini umum, jika champagne identik dengan sebuah perayaan atau Celebration. Tentu saja nuansa yang menyertai champagne adalah sebuah keceriaan. Keceriaan yang berbalut rasa bangga. Kesan dan nuansa semacam itulah yang agaknya ingin disampaikan William Gillock melalui karyanya, "Champagne Toccata"


  

  

Ditilik dari judulnya, pieces tersebut menyertakan istilah “Toccata”. Sebuah kulminasi forma virtuoso, inversi dari kantata yang adalah kulminasi karya untuk musik vokal. Singkatnya, Champagne Toccata adalah sebuah selebrasi dalam ranah virtuositas sebuah komposisi. Dan selebrasi macam inilah yang coba diusung oleh The Golden Fingers Piano Ensemble dengan director Jelia Megawati Heru. Pagelaran di Istituto Italiano Di Cultura, 19 November 2011 memang sebuah perayaan. Selebrasi dalam maknanya yang paling luas.

Sosok William Gillock sendiri lebih di apresiasi sebagai seorang music educator. Komposisi William Gillock terfokus pada upaya permainan bersama antara guru dan siswanya. Dalam berbagai rentang usia, Jelia cukup taktis memilih repertoire karya William Gillock. Karya Gillock memang terbukti mampu untuk merangkai rasa - keterpaduan rasa antara guru dan siswanya. Untuk saling mencecap nuansa, berdialog dan berbagi dalam tematik sebuah perayaan.

Champagne Toccata diperuntukkan bagi 2 piano 8 tangan. Tingkat kesulitannya cukup menggelitik. Sebetulnya, pieces ini adalah komposisi dalam gaya Jazz tradisional yang sempat marak di New Orleans, USA. Secara keseluruhan, landscape kompositorisnya adalah musik profan, musik salon - sebuah genre musik hiburan. Namun William Gillock dengan teknik komposisinya mampu melakukan besutan, agar musik hiburan dapat pula dimaknai sebagai sebuah materi pendidikan musik. Hal demikian sebetulnya telah dilakukan Igor Stravinsky dalam "Le Histoire De Soldat", yang mengangkat bentuk musik hiburan menjadi lebih prestisius, meski belum pada tatanan sebagai materi pendidikan musik. 

Champagne Toccata mengeksplorasi dua pola ritmikal: gaya Swing New Orleans pada bagian awal, dan Tempo di Beguine. Saat mengeksplorasi gaya Swing, Gillock memakai tatanan harmoni yang lazim dipakai dalam Jazz tradisional, yaitu: Black Harmony. Tempo di Beguine, kental dengan progresi II-V-I yang romantis, dalam skala keterukuran nuansa Jazz tradisional.


The Golden Fingers Piano Ensemble, mengusung semua elemen tersebut dengan baik. Baik, dalam artian proporsional pada tuntutan kebutuhan aspek musikalnya. Formasi performernya adalah: Aprilia, Clarissa Rachel, Dirayati Fatima Turner, dan Miss Jelia Megawati Heru. Salah satu kesulitan utama memainkan Jazz tradisional adalah menjaga beat tetap steady. Jelia dengan teknik pianistiknya mampu menjalankan fungsi sebagai beat keeper dengan luar biasa. Jelia juga berhasil meng-conduct ketiga siswanya untuk dapat menyalurkan rasa Jazz dengan luwes dan proper tanpa berlebihan. Bagian Tempo di Beguine pun dihadirkan dengan romantisme yang pas. Serasa menikmati champagne ditengah romantis nya keremangan ruangan malam.


Memainkan piece semacam Champagne Toccata, pada esensinya memiliki dua aspek kesulitan. Teknik fraseringnya - sehubungan dengan karakter pola ritmiknya, dan rasa yang harus juga tersalurkan. Bagi sesama performer maupun bagi audiens. The Golden Fingers berhasil mengatasi keduanya. Karena Jelia sejak awal kiprahnya telah menjadikan piano ensemble bukan sebagai ajang unjuk teknik, namun sebagai ajang bersosialisasi melalui musik, dan...The Golden Fingers memang patut merayakannya!